FGD MPR dengan akademisi FH UMM dan FH Unisma

Sejatinya marwah demokrasi bisa dilaksanakan secara langsung dan tidak langsung. Secara tidak langsung melalui lembaga perwakilan.yg saat ini di Indonesia keberadaan lembaga tersebut sangatlah urgen dalam ketatanegaraan Lembaga tersebut terdiri dari MPR, DPR, DPD yg diatur di dalam satu aturan yaitu UU No.17 th 2014 berikut perubahannya. Pasca kemerdekaan sampai reformasi saat ini, Dinamika ketatanegaraan yg luar biasa sudah terjadi, perubahan-perubahan itu menuntut akademisi utk urun rembug terkait dengan urgensi pembentukan UU MPR. Kali ini
2 (dua) dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan 2 (dua) dosen Fakultas Hukum Muhamadiyah Malang, hadir sebagai narasumber dalam Focus Group Discusion (FGD) yang digagas oleh Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). FGD dilaksanakan untuk menggali “URGENSI PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG MPR”. FGD yang dihadiri oleh Pimpinan dan anggota kelompok III Badan Pengkajian MPR, dibuka oleh Dr. Benny K. Harman, S.H. (Wakil Ketua Badan Pengkajian) dan Dr. Tongat, S.H., M.Hum (Dekan Fakultas Hukum UMM). Output yang diharapkan diperoleh dalam FGD adalah masukan-masukan dan kajian akademis yang diperoleh dalam tujuan penguatan MPR sebagai Lembaga Tinggi Negara sebagaimana yang diamanahkan oleh Konstitusi yakni UUD 1945. Diskusi berjalan interaktif dimulai pemaparan Sholahuddin Al Fatih, S.H., M.H (Dosen FH UMM) yang mengulas MPR dalam konteks perbandingan dari 7 negara, paparan kedua oleh Dr. Catur Wido Haruni (Dosen FH UMM) yang lebih melihat dan mengkaji perlunya dirumuskan secara terpisah UU tentang MPR sebagai bagian dari pemenuhan ketentuan yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) UUD 1945 yang memang secara eksplesit menghendaki pengaturan lebih lanjut dengan Undang-undang. Gambaran yang sama disampaikan oleh Ahmad Syaifudin, S.H., M.H. (Dosen FH Unisma) yang memandang MPR sudah seharus tidak boleh bergeser dari konsep awal keberadaannya dalam sistem ketetatanegaraan di Indonesia, MPR masih sebagai perwujudan kedaulatan rakyat sebagaimana diamanahkan dalam Pembukaan UUD 1945, pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dan pasal 2 ayat (1) UUD 1945 yang mendelegasikan perlunya diatur dalam UU. UU terpisah diharapkan membuat terjaganya marwah MPR, pengaturan yang lebih komprehensif dalam koridor menjalankan tugas dan wewenangnya. Dr. Nofi Sri Utami,S.Pd.,S.H.,M.H dalam paparannya lebih menegaskan tentang keberadaan MPR dalam system ketatanegaraan di Indonesia, MRP lah yang berbeda dan khas bagi Indonesia dan sehingga yang dikenal bukan unikameral maupun bikamiral tetapi trikameral. Diskusi yang dilaksanakan di Hotel Mercure, selasa 22 Nopember 2022, semakin menarik saat Ketua dan anggota MPR memberikan feedback, diskusi tentang kewenangan mengubah UUD 1945 yang di miliki oleh MPR menjadi topik yang dibahas. Apakah perlu diatur dalam UU MPR? ataukah diperlukan aturan lain utk mengaturnya?tentunya hal ini memunculkan dampak, baik itu dampak sosilogis,yuridis,politik,dll.

Mari terus kita kaji bersama hal-hal fundamental dinegeri ini, apapun itu nilai-nilai luhur yang tertulis dalam Pancasila harus menjadi norma dasar dan falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara.

Archives